Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Barangkali, Kitalah Penyebabnya
Menjelang tengah malam, seorang ikhwan mengirim SMS kepada saya. Dia seorang aktivis yang amat banyak menghabiskan waktunya untuk menyebarkan kebaikan. Bila berbicara dengannya, kesan yang tampak adalah semangat yang besar di dadanya untuk melakukan perbaikan. Kalau saat ini yang mampu dilakukan masih amat kecil, tak apa-apa. Sebab perubahan yang besar takkan terjadi bila kita tidak mahu memulai dari yang kecil. Tetapi kali ini, ia berkirim SMS bukan untuk berkongsi semangat. Ia kirimkan SMS kerana ingin meringankan beban yang hampir ada kerinduan yang semakin berambah untuk memiliki pendamping yang dapat menyayanginya sepenuh hati.
SMS ini mengingatkan saya pada beberapa kes selainnya. Usia sudah melewati tiga puluh, tetapi belum juga ada tempat untuk menambatkan rindu. Seorang pemuda usia sekitar 40 tahun, memiliki kerjaya yang cukup sukses, merasakan betapa sepinya hidup tanpa isteri. Ingin menikah, tapi takut ! tidak dapat mempergauli isterinya dengan baik. Sementara terus membujang merupakan siksaan yang nyaris tak dapat ditahan. Dulu ia ingin menikah, ketika kerjayanya belum seberapa. Tetapi niat itu dipendam dalam-dalam kerana merasa belum mantap. Ia harus mengumpulkan dulu wang yang cukup banyak agar dapat menyenangkan isteri. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu letaknya pada jiwa yang lapang, hati yang tulus, niat yang bersih dan penerimaan yang hangat. Ia juga lupa bahwa jika ingin mendapatkan isteri yang bersahaja dan menerima apa adanya, jalannya adalah dengan menguatkan hati, memantapkan tujuan dan meluruskan niat. Bila engkau ingin mendapatkan suami yang boleh menjaga pandangan, tak mungkin engkau meraihnya dengan, “Hai, aweks… Sunyi nampak “
Saya teringat dengan sabda Nabi Saw. (tapi ini bukan tentang nikah). Beliau berkata,
“Ruh itu seperti pasukan tentara yang berbaris.”
Bila bertemu dengan yang serupa dengannya, ia akan mudah mengenali, mudah juga bergabung dan bersatu. Ia tidak mendapatkan pendamping yang mencintaimu dengan sederhana, sementara engkau jadikan gemerlap kemantapannmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau jadikan gemerlap kemantapannmu sebagai pemikatnya? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan suami yang menerimamu sepenuh hati dan tidak ada cinta di hatinya kecuali kepadamu; sementara engkau berusaha meraihnya dengan menawarkan couple sebelum terikat oleh pernikahan? Bagaimana mungkin engkau mendapatkan lelaki yang terjaga bila engkau mendekatinya dengan menggoda?
Di luar soal cara, kesulitan yang kita hadapi saat ingin meraih pernikahan yang diredhai tak jarang kerana kita sendiri mempersulitnya. Suatu saat seorang perempuan memerlukan perhatian dan kasih-sayang seorang suami, ia tidak mendapatkannya. Di saat ia merindukan hadirnya seorang anak yang ia kandung sendiri dengan rahimnya, tak ada suami yang menghampirinya. Padahal kecantikan telah ia miliki. Apalagi dengan penampilannya yang enak dipandang. Begitupun wang, tak ada lagi kekhawatiran pada dirinya. Jawatannya yang cukup mantap di perusahaan memungkinkan ia untuk membeli apa saja, kecuali kasih-sayang suami.
Kesempatan bukan tak pernah datang. Dulu, sudah beberapa kali ada yang mahu serius dengannya, tetapi demi kerjaya yang diimpikan, ia menolak semua ajakan serius. Kalau kemudian ada hubungan perasaan dengan seseorang, itu sebatas couple. Tak lebih. Sampai kerjaya yang diimpikan tercapai; sampai ia tiba-tiba tersedar bahwa usianya sudah tidak terlalu muda lagi; sampai ia merasakan sepinya hidup tanpa suami, sementara orang-orang yang dulu bermaksud serius dengannya, sudah sibuk mengurusi anak-anak mereka. Sekarang, ketika kesedaran itu ada, mencari orang yang mahu serius dengannya sangat sulit. Sama sulitnya menaklukkan hatinya ketika ia muda dulu.
Masih banyak cerita-cerita sedih semacam itu. Mereka menunda pernikahan di saat Allah memberi kemudahan. Mereka enggan melaksanakannya ketika Allah masih memberinya kesempatan kerana alasan belum dapat menyelenggarakan walimah yang “wah”. Mereka tetap mengelak, meski terus ada yang mendesak; baik lewat sindiran mahupun dorongan yang terang-terangan. Meski ada kerinduan yang tak dapat diingkari, tetapi mereka menundanya kerana masih ingin mengumpulkan biaya atau mengejar kerjaya. Ada yang menampik “alasan kerjaya” walau sebenarnya tak jauh berbeza. Seorang akhwat menunda nikah mesti ada yang mengkhitbah kerana ingin meraih kesempatan membuat master (“Tahun depan kan belum tentu ada biasiswa”). Ia mendahulukan pra-sangka bahwa kesempatan membuat master tak akan datang dua kali, lalu mengorbankan pernikahan yang Rasullah Saw. Telah memperingatkan:
“Apabila datang kepadamu seorang laki-laki (untuk meminang) yang engkau redha terhadap agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Bila tidak engkau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan akan timbul kerusakan yang merata di muka bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Saya tidak tahu apakah ini merupakan hukum sejarah yang digariskan oleh Allah. Ketika orang mempersulit apa yang dimudahkan oleh Allah, mereka akhirnya benar-benar mendapati keadaan yang sulit dan nyaris tak menemukan jalan keluarnya. Mereka menunda-nunda pernikahan tanpa ada alasan syar’i, dan akhirnya mereka benar-benar takut melangkah di saat hati sudah sangat menginginkannya. Atau ada yang sudah benar-benar gelisah, tetapi tak kunjung ada yang mau serius dengannya.
Kadangkala, lingkaran ketakutan itu terus belanjut. Bila di usia-usia dua puluh tahunan mereka menuda nikah kerana takut dengan ekonominya yang belum mantap, di usia menjelang tiga puluh hingga sekitar tiga puluh lima berubah lagi masalahnya. Laki-laki sering mengalami sindrom merasa puas (meskipun wanita juga banyak yang demikian, terutama mendekati usia 30 tahun). Mereka menginginkan pendamping dengan kriteria yang sulit dipenuhi. Seperti hukum kategori, semakin banyak ! kriteria semakin sedikit yang masuk kategori. Begitu pula dengan kriteria tentang jodoh, ketika kita menetapkan kriteria yang terlalu banyak, akhirnya bahkan tidak ada yang sesuai dengan keinginan kita. Sementara wanita yang sudah berusia sekitar 35 tahun, masalah mereka bukan soal kriteria, tetapi soal apakah ada orang yang mau menikah dengannya. Ketika usia 40-an, ketakutan yang dialami oleh laki-laki sudah berbeza lagi, kecuali bagi mereka yang tetap terjaga hatinya. Jika sebelumnya, banyak kriteria yang dipasang, pada usia 40-an muncul ketakutan apakah dapat mendampingi isteri dengan baik. Lebih lebih ketika usia sudah beranjak mendekati 50 tahun, ada ketakutan lain yang mencekam. Ada kekhawatiran jangan-jangan di saat anak masih kecil, ia sudah tak sanggup lagi mencari nafkah. Atau ketika masalah nafkah tak merisaukan (kerana simpanan yang melimpah), jangan-jangan ia sudah mati ketika anak-anak masih perlu banyak dinasihati. Bila tak ada iman di hati, ketakutan ini akhirnya melahirkan keputus-asaan. Wallahu A’lam bishawab.
Ya… ya… ya…, kadang kita sendirilah penyebabnya, kita mempersulit apa yang telah Allah mudahkan, sehingga kita menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan. Kita memperumit yang Ia sederhanakan, sehingga kita terbelit oleh kerumitan yang tidak ada penghujunh. Kita menyombongkan atas apa yang tidak ada dalam kekuasaan kita, sehingga kita terpuruk dalam keluh-kesah yang berpanjangan.
Maka, kalau kesulitan itu kita sendiri penyebabnya, beristighfarlah. Semoga Allah berkenan melapangkan jalan kita dan memudahkan urusan kita. Laa ilaaha illa Anta, subhanaKa inni kuntu minazh-zhalimin.
Berkenaan dengan sikap mempersulit, ada tingkat-tingkatannya. Seorang menolak untuk menikah boleh jadi kerana matanya disilaukan oleh dunia, sementara agama ia tak mengerti. Belum sampai kepadanya pemahaman agama. Boleh jadi seorang menunda-nunda nikah kerana yang datang kepadanya beza harakah, meskipun tak ada yang patut dicela dari agama dan akhlaknya. Boleh jadi ada di antara kita yang belum dapat meresapi keutamaan menyegerakan nikah, sehingga ia tak kunjung melakukannya. Boleh jadi pula ia sangat memahami benar pentingnya bersegera menikah, sudah ada persiapan fizikal maupun ilmu, telah datang kesempatan dari Allah, tetapi… sukunya berbeza, atau sebab-sebab lain yang sama sepertinya.
Ada Yang Tak Dapat Kita Ingkari
Kadang ada perasaan kepada seseorang. Seperti Mughits –seorang sahabat Nabi Saw.- kita selalu mengikut kemana pun Barirah melangkah. Mata kita mengawasi, hati kita mencari-cari dan telinga kita merasa indah setiap kali mendengar namanya. Perasaan itu begitu kuat bersemayan di dada. Bukan kerana kita menenggelamkan diri dalam lautan perasaan, tetapi seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Al-Mada’iny, “Andaikan orang yang jatuh cinta boleh memilih, tentu aku tidak akan memilih jatuh cinta.”
Perasaan ini kadang mengganggu kita, sehingga tak sanggup berpikir jernih lagi. Kadang membuat kita banyak berharap, sehingga mengabaikan setiap kali ada yang mahu serius. Kita sibuk menanti –kadang sampai membuat badan kita kurus kering- sampai batas waktu yang kita sendiri tak berani menentukan. Kita merasa yakin bahwa dia jodoh kita, atau merasa bahwa jodoh kita harus dia, tetapi tak ada langkah-langkah pasti yang kita lakukan. Akibatnya, diri kita tersiksa oleh angan-angan.
Persoalannya, apakah yang mesti kita perbuat ketika rasa sayang itu ada? Inilah yang insya-Allah kita perbincangkan lebih mendalam pada makalah Masih Ada Tempat untuk Cinta. Selebihnya, kita cukupkan dulu pembicaraan itu sampai di sini.
Tuhan, Jangan Biarkan Aku Sendiri
Di atas semua itu, Allah bukakan pintu-pintu-Nya untuk kita. Ketuklah pertolongan-Nya dengan do’a. Di saat engkau merasa tak sanggup menanggung kesendirian, serulah Tuhanmu dengan penuh kesungguhan,
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (٨٩)
“Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian. Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.” (QS. Al-Anbiya’: 89).
Rabbi, laa tadzarni fardan wa Anta khairul waritsin.
Ini sesungguhnya adalah do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Zakariya untuk memohon keturunan kepada Allah Ta’ala. Ia memohon kepada Allah untuk menghapus kesendiriannya kerana ketiadaan zuriat yang menyejukkan mata.
Sebagaimana Nabi Zakariya, rasa sepi itu kita adukkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla semoga Ia hadirkan bagi kita seorang pendamping yang menenteramkan jiwa dan membahagiakan hati. Kita memohon kepada-Nya pendamping yang baik dari sisi-Nya. Kita memasrahkan kepada-Nya apa yang terbaik untuk kita.
Kapan do’a itu kita panjatkan? Bila saja kita merasa gelisah oleh rasa sepi yang mencekam. Panjatkan do’a itu di saat kita merasa amat memerlukan hadirnya seorang pendamping; saat hati kita dicekam oleh kesedihan kerana tidak adanya teman sejati atau ketika jiwa dipenuhi kerinduan untuk menimang buah hati yang lucu. Panjatkan pula do’a saat hati merasa dekat dengan-Nya; saat dalam perjalan ketika Allah jadikan do’a mustajabah; dan saat-saat mustajabah lainnya.
Dialih ke bahasa Malaysia – dakwah.info
-Alhamdulillah, kerana kami telah memilih untuk membina kekuatan iman dengan perikahan. Anda bagaimana?-